A. Pengertian Keadilan Bisnis dalam Islam
Al-Quran menggunakan pengertian yang
berbeda-beda bagi kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan.
Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi atau wawasan keadilan juga
tidak selalu berasal dari akar kata ‘adl. Kata-kata sinonim seperti qisth,
hukm dan sebagainya digunakan oleh al-Quran dalam pengertian keadilan.
Sedangkan kata ‘adl dalam berbagai-bagai bentuk pengertian dan
penggunaannya boleh saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi
keadilan itu (ta’dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl
dalam arti tebusan).
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu)
berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl : 90)[1]
Al-adl yang dimaksud dalam ayat tersebut
adalah barometer timbangan kebenaran-kebenaran yang diseimbangkan atau sikap
menengahi kebenaran-kebenaran atas dasar hak kebenaran itu sendiri tanpa
terhalangi oleh ikatan apapun. Seperti di tegaskan oleh Ahmad Musthafa
al-Maraghy bahwa keadilan adalah timbangan bagi kebenaran.[2]
Nurcholis Madjid menegaskan bahwa keadilan imani
(pemutlakan terhadap Tuhan Yang Esa) terkait erat dengan ihsan, yaitu keinginan
berbuat baik untuk sesama manusia dengan tulus, karena manusia bertindak
dihadapan manusia dengan tulus, karena manusia bertindak dihadapan Tuhan untuk
menjadi saksi baginya, yang segala sikap lahir dan bathin tidak pernah jadi
rahasia dihadapannya.[3]
Jika dikategorikan, ada beberapa
pengertian yang berkaitan dengan keadilan di dalam al-Quran dari akar kata ‘adl
tersebut, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak
seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.
Sikap adil tidak hanya dituntut bagi
kaum Muslim saja tetapi juga mereka yang beragama lain. Itupun tidak hanya
dibatasi sikap adil dalam urusan-urusan mereka belaka, melainkan juga dalam
kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan ajaran agama
masing-masing.
Jadi bisa disimpulkan Keadilan
adalah pengakuan dan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan
juga dapat berarti suatu tindakan yang tidak berat sebelah atau tidak memihak
ke salah satu pihak, memberikan sesuatu kepada orang sesuai dengan hak yang
harus diperolehnya. Bertindak secara adil berarti mengetahui hak dan kewajiban,
mengerti mana yang benar dan yang salah, bertindak jujur dan tepat menurut
peraturan dan hukum yang telah ditetapkan serta tidak bertindak
sewenang-wenang.
Bisnis diartikan sebagai suatu kegiatan
yang dilakukan yang dilakukan oleh manusia untuk memperoleh pendapatan atau
penghasilan atau rizki dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya
dengan cara mengelola sumber daya ekonomi secara efektif dan efisien.[4]
Menurut Skinner mendefinisikan bisnis sebagai pertukaran barang. jasa, atau
uang yang saling menguntungkan atau memberi manfaat.[5]
Dalam
Islam, bisnis dapat dipahami sebagai serangkaian aktivitas bisnis dalam
berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah (kuantitas) kepemilikan hartanya
(barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara perolehan dan
pendayagunaan hartanya (ada aturan halal dan haram).[6]
Keadilan
Dalam Bisnis Menurut Islam
Secara umum Islam menawarkan
nilai-nilai dasar atau prinsip-prinsip umum yang penerapannya dalam bisnis
disesuaikan dengan perkembangan zaman dan mempertimbangkan dimensi ruang dan
waktu. Islam sangat mengajurkan untuk berbuat adil dalam berbisnis, dan
melarang berbuat curang atau berlaku dzalim. Kecurangan dalam berbisnis
merupakan pertanda bagi kehancuran bisnis tersebut, karena kunci keberhasilan
bisnis adalah kepercayaan.
Al-Qur’an memerintahkan kepada kaum
muslimin untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai
melakukan kecurangan dalam bentuk pengurangan takaran dan timbangan.
Artinya : “Dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S.
al-Isra’: 35)[7]
Dalam
ayat lain yakni Q.S. al-Muthaffifin: 1-3 yang artinya:
Artinya :
1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang.
2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari
orang lain mereka minta dipenuhi,
3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang
lain, mereka mengurangi.[8]
Dari ayat di atas jelas bahwa
berbuat curang dalam berbisnis sangat dibenci oleh Allah, maka mereka termasuk
orang-orang yang celaka. Kata ini menggambarkan kesedihan, kecelakaan dan
kenistaan. Berbisnis dengan cara yang curang menunjukkan suatu tindakan yang
nista, dan hal ini menghilangkan nilai kemartabatan manusia yang luhur dan
mulia. Dalam kenyataan hidup, orang yang semula dihormati dan dianggap sukses
dalam berdagang, kemudian ia terpuruk dalam kehidupannya, karena dalam
menjalankan bisnisnya penuh dengan kecurangan, ketidakadilan dan mendzalimi
orang lain.
Bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama
:
- target hasil; profit-materi dan benefit-nonmateri
- pertumbuhan
- keberlangsungan
- keberkahan.[9]
Target
hasil:
profit-materi dan benefit-nonmateri, artinya bahwa bisnis tidak hanya untuk
mencari profit (qimah madiyah atau nilai materi) setinggi-tingginya,
tetapi juga harus dapat memperoleh dan memberikan benefit (keuntungan atau
manfaat) non materi kepada perusahaan organisasi internal dan eksternal
(lingkungan), seperti terciptanya suasana persaudaraan, kepedulian sosiaL dan
sebagainya.
Benefit, Islam memandang bahwa tujuan suatu
amal perbuatan tidak hanya berorientasi pada qimah madiyah. Masih ada
tiga orientasi lainnya, yakni qimah-insaniyah, qimah khuluqiyah, dan qimah
ruhiyah. Qimah insaniyah berarti pengelola berusaha memberikan manfaat yang
bersifat kemanusiaan melalui kesempataan kerja, bantuan sosial (sedekah), dan
bantuan lainnya. Qiyah khuluqiyah, mengandung pengertian bahwa
nilai-nilai akhlak mulia menjadi suatu kemestian yang harus muncul dalam setiap
aktivitas bisnis sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang Islami, bukan
sekedar hubungan fungsional atau profesional. Sementara qimah ruhiyyah berarti
aktivitas dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Pertumbuhan, jika profit materi dan profit non
materi telah diraih, perusahaan harus berupaya menjaga pertumbuhan agar selalu
meningkat. Upaya peningkatan ini juga harus selalu dalam koridor syariah, bukan
menghalalkan segala cara.
Keberlangsungan, target yang telah dicapai dengan
pertumbuhan setiap tahunnya harus dijaga keberlangsungannya agar perusahaan
dapat eksis dalam kurun waktu yang lama.
Keberkahan, semua tujuan yang telah tercapai
tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada keberkahan di dalamnya. Maka bisnis
Islam menempatkan berkah sebagai tujuan inti, karena ia merupakan bentuk dari
diterimanya segala aktivitas manusia. Keberkahan ini menjadi bukti bahwa bisnis
yang dilakukan oleh pengusaha muslim telah mendapat ridha dari Allah Swt., dan
bernilai ibadah.[10]
Islam sangat mengajurkan untuk
berbuat adil dalam berbisnis, dan melarang berbuat curang atau berlaku dzalim.
Rasulullah SAW diutus Allah SWT untuk membangun keadilan.
Kecelakaan besar bagi orang yang berbuat curang, yaitu orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain meminta untuk dipenuhi, sementara kalau
menakar atau menimbang untuk orang selalu dikurangi.
“Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku
adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Maidah : 8)[11]
B.
Keseimbangan
atau Keadilan dalam islam
Salah satu sendi utama bisnis dalam
Islam adalah sifatnya yang pertengahan dan berkeadilan. Hal ini terlihat jelas
pada sikap Islam terhadap individu dan masyarakat. Kedua hak itu diletakkan
dalam neraca keseimbangan yang adil, tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga,
akal dan hati, serta perumpamaan dan kenyataan. Islam juga bersifat
ditengah-tengah antara iman dan kekuasaan.[12]
Dalam menjalankan aktivitas bisnis dilarang melakukan praktek penganiayaan
masyarakat khususnya kaum yang lemah. Islam mengakui hak individu dan
masyarakat juga meminta mereka untuk melaksanakan kewajiban masing-masing.
Dengan demikian Islam menjalankan peranannya dengan penuh keadilan serta
kebijaksanaan. Dalam beraktivitas pada dunia kerja, Islam megharuskan untuk
berbuat adil, tidak terkecuali kepada pihak yang tidak disukai. Pengertian adil
dalam Islam diarahkan agar hak orang lain, hak lingkungan sosial, hak alam
semesta dan hak Allah dan Rasul-Nya berlaku sebagai stakeholders dari perilaku
adil seseorang. Semua hak tersebut harus ditempatkan sebagaimana mestinya dan
sesuai syariat. Dengan mengesampingkan salah satu hak di atas dapat menempatkan
seseorang tersebut pada kedzaliman. Disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa keadilan
itu lebih dekat kepada ketakwaan.[13]
Allah berfirman :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih
dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Ma'idah (5) : 8)[14]
Lebih jauh Sayyid Qutb berpendapat
bahwa keadilan adalah menyediakan ruang gerak yang cukup bagi kehidupan dan
nilai-nilai bisnis yang merata dalam semua segi yang menunjang kehidupan
menurut pandangan Islam. Sistem ekonomi dan bisnis harus sanggup
menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks demikian,
setiap anggota organisasi akan melakukan setiap pekerjaan dengan penuh rasa
tanggung jawab dan jujur. Dalam melakukan kegiatan bisnis seperti dalam
transaksi hutang piutang, Islam memberikan keseimbangan bagi kreditur dan
debitur dalam hal toleransi. Islam memberi etika tersendiri kepada seorang
kreditur. Allah berfirman :
Artinya : Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam
kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (Al-Baqarah (2) : 280)[15]
Kepada debitur diwajibkan untuk bersegera dalam pengembalian
hutangnya pada waktu yang sudah ditentukan. Dari uraian di atas menjadi jelas
bahwa Islam meletakkan kegiatan pada posisi tengah dan keseimbangan yang adil
dalam bidang ekonomi dan bisnis. Keseimbangan dalam semua segi, antara modal
dan usaha, antara produksi dan konsumsi dan antara golongan-golongan dan
masyarakat. Demikian juga keseimbangan yang adil tentang kehidupan dunia dan
akhirat.
C.
Keadilan
distribusi, produsen dan konsumen dalam islam
Para
pengamat mengatakan bahwa, tujuan distribusi dalam islam adalah persamaan dalam
distribusi. Persamaan tersebut adalah konsep keadilan. Dan bagi sebagian
mengatakan bahwa, yang dimaksud adil bila seseorang dibayar sesuai dengan
konstribusinya yang ia berikan. Sebagian lagi mengatakan bahwa, keadilan itu
tergantung pada kebutuhan seseorang.
Dalam pandangan munawar Iqbal,
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan distribusi dalam islam adalah distribusi
yang menjamin tiga hal:
1. Menjamin
terpenuhinya dasar bagi semua.
2. Objektivitas
atau keadilan tetapi bukan persamaan dalam pendapatan individu.
3. Pembatasan
ketidak merataan ekstrim dalam pendapatan dan kekayaan individu.
Dalam persoalan kebutuhan dasar
dalam islam adalah bagian terpenting dari visi islam dan tujuan utama dari
sistem hidup yang dibangun. Islam mengijinkan perbedaan dalam pendapatan,
karena dasar keadilan bagi semua adalah adanya ebebasan dalam melakukan
pekerjaan dan ia akan mendapatkan pendapatan sesuai dengan pekerjaannya. Tetapi
hal itu tidak berarti bahwa islam mentimulasi agar terjadi disparatis atau perbedaan
yang sangat mencolok antara kaum yang punya penghasilan tinggi dan rendah.
Islam mencegah hal itu, karena persoalannya bukan karena agama ini hanya
menegakan keadilan semata, tetapi juga mempromosikan kasih sayang resiprokal
dan kebijakan antar sesama sehingga lahirlah masyarakat adil dan makmur.
Perilaku konsumen adalah
kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan
kepuasanya. Prinsip Dasar Konsumsi anugrah-anugrah Allah itu semua milik
manusia dan suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugrah-anugrah itu
berada ditangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat
memanfaatkan anugrah-anugrah itu untuk mereka sendiri, sedangkan orang lain
tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara anugrah-anugrah yang
diberikan Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun
mereka tidak memperolehnya. Perilaku Konsumen adalah tingkah laku dari
konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli,
menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka.[16]
Dalam kegiatan produksi merupakan respon terhadap kegiatan
konsumsi, atau sebaliknya. Produksi adalah kegiatan menciptakan
suatu barang atau jasa, sementara konsumsi adalah pemakaran atau pemanfaatan
hasil produksi tersebut.
Kegiatan produksi dan konsumsi merupakan sebuah mata
rantai yang saling terkait satu sama lain, oleh karena itu, kegiatan produksi
harus sepenuhnya sejalan dengan kegiatan konsumsi, apabila keduanya tidak sejalan, maka tentu saja kegiatan
ekonomi tidak akan berhasil mencapai tujuan yang diinginkan. Misalnya : dalam
konsumsi kita dilarang untuk memakan atau meminum barang-barang yang haram, seperti
: Alkohol, Babi, Bangkai, Binatang yang tidak disembelih atas nama Allah,
dan binatang buas.[17]
Seorang
konsumen yang berperilaku Islami juga tidak boleh melakukan dalam takaran
mudharat, perilaku konsumen yang seperti ini tentu akan sulit berwujud apabila
kegiatan produksi tidak sejalan misalnya produksi dan mata rantainya seperti
pemasaran.
Hubungan produsen dan konsumen sangat erat karena diatara konsumen
dan produsen merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Setiap
produsen membutuhkan konsumen begitu pula sebalik nya. Dan sikap konsumen juga diterangkan
dalam Al quran. Allah berfirman :
“Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan
baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syetan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu” (Qs
al-Baqarah,2 : 168)
Prinsip keadilan yang dimaksud adalah
mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan
tubuh).
D.
Keadilan
Bisnis Rusululah
Islam menawarkan etika bisnis yang
berkeadilan dengan berlandaskan pada keteladanan Rasulullah Saw dalam
berbisnis, baik pada waktu sebelum diangkat menjadi Rasul maupun setelah
menjadi Rasul. Al-Qur’an memberikan nilai dasar dan prinsip-prinsip umum dalam
melakukan bisnis. Islam sangat tepat dijadikan rujukan dalam berbisnis, karena
didalamnya menjunjung tinggi prinsip kejujuran, keadilan, kehalalan dan
tanggungjawab yang betumpu pada nilai-nilai tauhid.
Rasulullah sendiri adalah seorang pedagang bereputasi
international yang mendasarkan bangunan bisnisnya kepada nilai-nilai ilahi
(transenden). Dengan dasar itu Nabi membangun sistem ekonomi Islam yang
tercerahkan. Prinsip-prinsip bisnis yang ideal ternyata pernah dilakukan
oleh Nabi dan para sahabatnya. Realitas ini menjadi bukti bagi banyak orang,
bahwa tata ekonomi yang berkeadilan, sebenarnya pernah terjadi, meski dalam
lingkup nasional, negara Madinah. Nilai, spirit dan ajaran yang dibawa Nabi
itu, berguna untuk membangun tata ekonomi baru, yang akhirnya terwujud dalam
tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
Rasululah SAW, sangat banyak memberikan petunjuk mengenai
etika bisnis, salah satunya bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah
kejujuran. Dalam Islam, kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan
bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis.
Dalam tataran ini, beliau bersabda:
“Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang
mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (H.R. Al-Quzwani).
“Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami” (H.R.
Muslim).
Rasulullah sendiri selalu bersikap
jujur dalam berbisnis. Dalam suatu waktu beliau melarang para pedagang
meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
Rasulullah sangat sering melarang
para pelaku bisnis melakukan sumpah palsu dalam melakukan transaksi bisnis
Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, Nabi bersabda:
“Dengan melakukan sumpah palsu,
barang-barang memang terjual, tetapi hasilnya tidak berkah”.
Dalam hadist riwayat Abu Zar
dijelaskan bahwa Rasulullah SAW mengancam dengan azab yang pedih bagi orang
yang bersumpah palsu dalam bisnis, dan Allah tidak akan memperdulikannya nanti
di hari kiamat (H.R. Muslim). Praktek sumpah palsu dalam kegiatan bisnis saat
ini sering dilakukan, karena dapat meyakinkan pembeli, dan pada gilirannya
meningkatkan daya beli atau pemasaran. Namun, harus disadari, bahwa meskipun
keuntungan yang diperoleh berlimpah, tetapi hasilnya tidak berkah.
Sumber :
Al Quranul Karim
·
Badroen,
Faisal 2006. Etika Bisnis dalam Islam, Jakarta: Kencana
·
Muslich, 2004. “Etika Bisnis Islami; Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi
Implementatif.” Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomin UII,
·
Nurcholis
Madjid. 1992. “Islam; Doktrin dan
Peradaban.” Jakarta. Yayasan Wakaf Paramadina.
·
Yusanto., Muhammad Ismail. 2002. “Menggagas Bisnis Islami”. Jakarta: Gema Insani Press.
Website:
·
http://satriaqu.blogspot.com/2012/12/nilai-nilai-keadilan-dalam-sistem.html.
jam 10:01, tanggal 03/03/2013
[1] QS. An-Nahl : 90
[2] Ahmad Musthafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy,
Juz VI, Musthafa al-Baby al-Halby, Mesir, hlm: 64
[3] Nurcholis Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban,
Cet. 2, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta 1992, hlm: 115.
[4]
Muslich,
Etika Bisnis Islami; Landasan Filosofis, Normatif, dan Substansi
Implementatif,
(Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomin UII, 2004), h. 46
[5] Muhammad Ismail
Yusanto dan Muhammad
Karebet Widjajakusuma,
Menggagas
Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), h. 15
[6] Iibid., Hal. 18
[8] Q.S.
al-Muthaffifin: 1-3
Menggagas
Bisnis Islami,hal. 18
[10] Ibid., hal. 19-20
[12] Muslich, Etika Bisnis Islami; Landasan Filosofis,
Normatif, dan Substansi
Implementatif, (Yogyakarta: Ekonisia
Fakultas Ekonomin UII, 2004), h. 46
[13] Faisal
Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, cet. I (Jakarta: Kencana 2006), hlm.
91.
[14] Al-Ma'idah
(5) : 8
[15] Al-Baqarah
(2) : 280
0 Response to "Bisnis dalam Islam"
Posting Komentar